Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pelemahan kurs Rupiah yang sejak awal tahun ini kian mendekati level Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat turut menimbulkan anggapan kondisi fundamental ekonomi Indonesia, lebih buruk dibandingkan tahun 1998.
Pagi ini misalnya, Kamis (6/9/2018), kurs Rupiah ditransaksikan Rp Rp 14.875 per dolar AS atau telah terdepresiasi 9,85 persen sejak awal tahun ini. Benarkah kondisi tersebut lebih buruk?
Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, mengatakan, memang Rupiah memang dalam seminggu ini tertekan dan melemah cukup dalam hingga hampir menembus 15.000. Tapi, pelemahannya sebenarnya masih sangat normal jauh berbeda dengan kondisi 1997 1998 yang kemudian memicu krisis ekonomi.
“Rupiah waktu itu melemah dari Rp 2.250 hingga mendekati Rp 17.000. Artinya melemah ratusan persen. Sementara saat ini rupiah hanya melemah dari Rp 13.800 diawal tahun menjadi sekitar Rp 14.900 saat ini. Artinya hanya melemah sekitar Rp 1.000 rupiah atau sekitar 8 persen saja. Sangat jauh kalau dibandingkan dengan periode krisis 1997 1998,” kata Piter, kepada Tribunnews.com, Rabu (5/9/2018).
Piter menambahkan, kondisi sistem perbankan dan keuangan, kondisi fiskal maupun fiskal masih cukup kuat dengan utang luar negeri swasta yang terjaga untuk menghadapi pelemahan kurs Rupiah.
“Penjelasan ini harus disampaikan kepada masyarakat agar tidak menimbulkan isu-isu yang kemudian justru membuat Rupiah semakin melemah,” tuturnya.
Perlu Diwaspadai
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai adanya, krisis ekonomi 1998 dan kondisi saat ini sedikit berbeda. Meskipun sama sama dipicu krisis mata uang negara berkembang.
Di mana tahun 1998 dimulai dri Thailand, Indonesia dan di 2018 dimulai dari Turki, Argentina dan merembet ke negara berkembang lain.
Jika dilihat dari kinerja pertumbuhan ekonomi 1998 yang merosot ke -13,6 persen, saat ini pertumbuhan ekonomi berada di 5,2 persen per triwulan II 2018.
“Inflasi sempat naik hingga 77 persen saat krisis moneter. Sekarang cukup stabil dibawah 3,5 persen. Pelemahan kurs rupiah belum terlihat dampaknya pada Agustus 2018 yang justru mencatat deflasi,” kata Bhima.
Sementara itu, posisi cadangan devisa tahun 1996 sebelum krisis berada diangka 18,3 miliar dolar AS. Saat ini, cadangan devisa berada di 118,3 miliar dolar AS.
“Meskipun beberapa indikator menunjukkan perbaikan. Tapi kita harus mewaspadai defisit transaksi berjalan yang menembus 3 persen pada triwulan II 2018,” imbuh Bhima.
Menurutnya, Negara dengan defisit transaksi berjalan yang cukup lebar sangat rentan terpapar krisis ekonomi seperti misalnya krisis ekonomi yang terjadi di Turki dan Argentina.
http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/09/06/kata-ekonom-soal-kondisi-ekonomi-2018-dibanding-1998
No comments:
Post a Comment